Eks Tim Mawar Kuasai Jabatan Strategis di Era Prabowo-Gibran

Jejak Lama yang Bangkit di Pemerintahan Baru
SUPERSEMAR NEWS – Jakarta. Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka telah berjalan. Namun, di tengah semangat membangun Indonesia Maju, bayang-bayang masa lalu justru kembali muncul.
Salah satunya, adalah munculnya eks anggota Tim Mawar Kopassus di posisi-posisi strategis pemerintahan.
Tim yang dahulu terkenal karena operasi gelapnya pada 1998 itu kini justru menempati jabatan tinggi negara. Nama-nama mereka muncul di kementerian, lembaga strategis, bahkan dianugerahi pangkat kehormatan.
Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini bentuk rekonsiliasi sejarah, atau justru pembenaran atas masa lalu kelam bangsa?
Dari Operasi Rahasia ke Kantor Pemerintahan
Bagi generasi 1998, Tim Mawar bukan nama asing. Tim kecil di bawah Kopassus Grup IV TNI AD ini dibentuk pada masa menjelang tumbangnya rezim Orde Baru.
Mereka dituding sebagai dalang penculikan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi seperti Desmond J. Mahesa, Nezar Patria, dan Raharja Waluyo Jati.
Beberapa korban memang kembali dengan selamat, namun nama-nama seperti Wiji Thukul hingga kini belum ditemukan.
Namun dua dekade kemudian, sejarah seolah berputar arah. Di bawah kepemimpinan Prabowo—yang saat itu menjabat Danjen Kopassus—nama-nama itu kembali muncul, bukan di berita pengadilan, melainkan di struktur pemerintahan modern Indonesia.
Panggung Baru Eks Tim Mawar di Era Prabowo-Gibran
Beberapa eks anggota Tim Mawar kini duduk di posisi penting:
- Djaka Budi Utama, kini menjabat Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
- Nugroho Sulistyo Budi, menjabat Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
- Chairawan Kadarsyah Kadirussalam Nusyirwan dan Untung Budiharto, mendapat pangkat jenderal kehormatan bintang tiga dari Presiden Prabowo.
Selain itu, dua nama lain — Brigjen TNI Dadang Hendrayudha dan Brigjen TNI Yulius Selvanus — sudah lebih dulu mendapat posisi strategis ketika Prabowo menjabat Menteri Pertahanan era Presiden Jokowi.
Keduanya diangkat melalui Keputusan Presiden RI Nomor 166/TPA Tahun 2020, setelah diusulkan langsung oleh Prabowo.
Langkah ini memperlihatkan kesinambungan politik antara masa Prabowo sebagai Menhan dan era kepresidenannya.
Namun, bagi sebagian pihak, pengangkatan tersebut bukan sekadar penghargaan, melainkan isyarat balas budi terhadap loyalitas lama.
Kritik Keras: “Prabowo Too Much bagi-bagi Kekuasaan”
Pengamat militer Prof. Muradi dari Universitas Padjadjaran menilai langkah Presiden Prabowo sebagai bentuk vulgarisasi kekuasaan.
Menurutnya, pembagian jabatan kepada eks Tim Mawar dilakukan terlalu terbuka dan berlebihan.
“Prabowo too much, berlebihan, terlalu jauh. Dulu zaman Pak Jokowi kan masih malu-malu, sekarang terang-terangan,” ujarnya kepada media, Selasa (14/10/2025).
Muradi menilai, meskipun para eks Tim Mawar telah mendapat “pemulihan” atas masa lalunya, memberi jabatan strategis tetap tidak etis.
“Kalau pun mau diberi tempat, jangan di depan. Karena ini bukan prestasi. Banyak perwira yang lebih kompeten tapi tidak dapat posisi karena bukan orang dekat Prabowo,” tambahnya.
Muradi juga menduga langkah ini bagian dari “pelunasan utang budi” yang ingin diselesaikan Prabowo selama masa jabatan pertama.
“Sepertinya beliau tidak yakin bisa dua periode, makanya buru-buru bagi jabatan kepada orang-orang dekat,” kata Muradi.
Istana: Djaka Sudah Sipil, Jabatan Sesuai Aturan
Sementara itu, pihak Istana Kepresidenan menegaskan bahwa pengangkatan Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea dan Cukai telah sesuai aturan.
Kepala PCO, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa Djaka telah mengundurkan diri dari dinas keprajuritan per 2 Mei 2025.
“Dirjen Bea Cukai sekarang statusnya sipil. Sudah diberhentikan dari dinas militer dan kini menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K),” kata Hasan di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Penjelasan ini menjadi tameng hukum atas polemik yang mencuat di publik. Namun, penilaian moral dan etis tetap menjadi perdebatan panjang.
Bayang-bayang 1998 dan Rekonsiliasi yang Setengah Hati
Meski sejarah mencatat peran gelap Tim Mawar, Prabowo justru berulang kali mengajak para aktivis ‘98 berdamai.
Dalam salah satu kampanye Pilpres 2024, ia bahkan berkelakar:
“Dulu saya kejar-kejar Anda. Maaf, dulu atas perintah. Bandel sih dulu,” ujarnya sembari tertawa bersama para mantan aktivis.
Langkah ini dinilai sebagai upaya rekonsiliasi simbolik — bahwa luka masa lalu dapat dihapus dengan kekuasaan baru.
Namun bagi sebagian korban dan keluarga aktivis yang hilang, rekonsiliasi tanpa kebenaran hanyalah ilusi.
Sejumlah organisasi HAM, termasuk KontraS dan Amnesty International Indonesia, menyebut penempatan eks Tim Mawar dalam pemerintahan bisa memperburuk citra demokrasi Indonesia di mata dunia.
(Baca di Tempo.co)
Simbol Kekuasaan atau Luka yang Belum Sembuh?
Langkah Presiden Prabowo menempatkan eks Tim Mawar di jabatan strategis memperlihatkan satu hal: politik Indonesia masih dikuasai jaringan lama yang kuat dan loyal.
Bagi pendukung, ini adalah bentuk penghargaan bagi prajurit yang “pernah berjasa”.
Namun bagi korban dan aktivis HAM, ini adalah tamparan keras terhadap perjuangan demokrasi.
Apakah ini sekadar langkah politik untuk menjaga stabilitas? Ataukah simbol bahwa negara sudah siap melupakan masa lalunya?
Pertanyaan itu masih menggantung, sementara bayang-bayang 1998 kembali terasa di istana kekuasaan hari ini.
SupersemarNewsTeam
SanggaBuana