
Jakarta,Supersemar news– Petugas kepolisian menangkap seorang massa aksi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada terlibat bentrok dengan pihak kepolisian saat menjebol jeruji pagar di salah satu sisi gedung DPR RI, Jakarta, Kamis, 22/08/2024. Kepolisian mengerahkan 2.013 personel gabungan untuk mengawal aksi demo di DPR RI.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa Kawal Putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta.
Isnur menyampaikan, sampai Kamis malam, 22/08/2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing.
“Pengaduan yang masuk di TAUD (Tim Advokasi untuk Demokrasi) hingga pukul 21.30 (22/08/2024) ada 26 laporan,” kata Isnur,
Isnur menguraikan, puluhan laporan tersebut berupa tindakan kekerasan, doxing, sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Bahkan, terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi. Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri. Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali.
Melihat banyaknya tindakan represif dalam aksi mahasiswa mengawal Putusan MK, Guru Besar Universitas Gadjah Mada atau UGM Prof. Koentjoro melihat kepolisian yang tersebar di beberapa daerah tidak kompak menjalankan tugasnya.
“Polisi tidak kompak karena setiap daerah itu berbeda. Sebab, di Yogyakarta, Suwondo Nainggolan, Kapolda Yogyakarta turun dan berdialog bersama massa sehingga bisa mengendalikan aksi,” kata Koentjoro kepada Tempo.co, pada 24/08/ 2024.
Koentjoro mengingatkan tugas polisi untuk mengayomi masyarakat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Ia juga menekankan, polisi perlu menjalankan tugas sesuai aturan hukum yang berlaku, baik kepada masyarakat sipil maupun pejabat publik, termasuk presiden.
“Kita harus mengingatkan kepada polisi bahwa Jokowi dapat dibela, jika menjalankan fungsi sebagai presiden dengan benar. Namun, polisi harus menolak (mengayomi), jika Jokowi menjalankan dan menyalahgunakan fungsi sebagai ayah Gibran dan Kaesang,” ujarnya.
Sumber; TEMPO
Editor//Jokosw
